Anekdot

Roman

Ketika Malaikat Menjadi Manusia

Ketika Malaikat Menjadi Manusia

            Ajudan Malaikat marah. Istana Jibril dimasuki manusia yang tergeletak kotor dengan dosa. “Hai anak Adam, mau apa kemari?”
            “Maafkan aku lancang ingin bertemu Jibril.” Jawab sang manusia, yang dalam ukuran umur manusia, dia pria remaja.
            “Ya lancang, kudoakan kau cepat mati. Dengan keberkatan yang kumiliki doaku akan mudah dikabulkan.”
            “Tenanglah, ini garis Tuhan.” Kata suara lain, suara Jibril. “Untuk apa kau ingin bertemu aku.?”
            “Aku ingin menjadi engkau, sebagai gantinya kau boleh meminjam tubuh manusiaku ini.” Tukas remaja itu, pelan.
            “Baiklah, kita bertukar peran seminggu.”


[ Ibra; Manusia ]

            Aku sekarang malaikat, kulewati batas-batas. Bisa kuinjak nirwana, dan dunia hanya seberkas. Aku sekarang angin, aku sekarang bumi.
Aku kini Malaikat, jelas melihat siang, juga mampu menyorot gorong-gorong yang tersembunyi meski malam-malam, juga semut pun meski di bawah batu. Maka terbaca pikiran Alisia yang ketakutan, debar-debar di jantungnya bukan lagi milik rahasia.
“Aku kenapa? Aku kok kepikiran besok terus. Mana dingin lagi.” Kata Alisia sembari mengusap kening.
Alisia, sebetulnya besok kamu akan mati. Tapi itu sudah bukan ancaman lagi, toh kini aku Jibril, raja para Malaikat. Andailah  Izrail menjemputmu, itu urusanku.
Aku kini malaikat, kuperintahkan angin berhenti, kuturunkan kontras matahari yang sekarang di belakang bumi. Aku tak perlu lagi tidur, memastikan lelap Alisia; kebutuhan baru. Sebelum Alisia bangun, kusulap salah satu pensilnya menjadi mawar, agar saat bangun gadis manis itu menyeringai.
           
[ Malaikat Jibril]
Aku malaikat, mahluk tak terbatas. Sebetulnya anak Adam itu tidak sepenuhnya menjadi aku. Dia hanya meminjam segala kekuatanku, tanpa harus melakukan tugas-tugas. Tugasku dihandle aku yang lain.
            Aku malaikat yang biasanya penuh kekuatan, semua mudah teratasi. Tubuh ini masih terhitung ringan, satu-satunya yang membuat berat dari kombinasi organ ini adalah hati mereka. Kulihat Hawa yang aku tahu bernama Alisia, sosok yang dicintai tubuh ini. Jantungku berdentum-dentum, tangan dan kakiku menggeletar. Ini yang kumaksud kekuatan hati! Ia bisa mempengaruhi anggota badan yang lain.
            “Ibra, terima kasih untuk bunganya.”
            Ibra? aku mengerjap. Ibra adalah nama pemilik tubuh ini. “Oh ya, sama-sama.” Aku mencoba tersenyum dengan cara manusia, meskipun tidak tahu apa yang sebetulnya sedang dibicarakan.
            Alisia berlalu.
            Cinta, ini cinta! Detak jantung yang melebihi interval normal. Aku menyaksikan pertemuan pertama Adam dan Hawa di Jazirah, aku yang mengamati Shakespeare mengkreasikan Romeo dan Juliet, dan sekarang aku mengalaminya. Memang, malaikat juga punya cinta, tapi dengan rasa malaikat. Hambar, bahkan tak tercipta lawan jenis untuk kami. Jatuh cinta dengan rasa manusia, lebih estetika, seringkali tanpa otak dan penuh berontak. Mungkin hanya karena aku sedang menjadi manusia saja. Maafkan aku Tuhan, aku mahluk yang diprogram hanya untuk menjalankan perintah Tuhan.
Alisia, mengapa harus aku pikirkan kematiannya? Apa artinya dia dibanding seluruh jagad raya?

[ Ibra; Manusia]
            Aku kini malaikat, mataku pohon-pohon yang mematung, telingaku ranting-ranting yang menggantung. Dari sini aku melihat aku. Aku yang lain; aku yang diisikan Jibril. Ada getir panas, ada semilir cemburu. Apa aku masih bisa bergelar tulus, apabila mengharap segala yang aku lakukan terhadapnya akan dibalas? Dibalas pelukan, dibalas kata-katanya bahwa ia juga ingin menjaga hatiku, dibalas ucapan manisnya mengatakan dia juga cinta kepadaku. Aku tahu aku tidak pernah tulus, sebab... Aku mengharap senyumnya, senyum bahagia karena hidupnya meski bukan karena aku alasannya. Aku mengharap dia memiliki kesadaran betapa istimewa pribadinya, ada seseorang yang berpendapat bahwa dia anugerah di hidup seseorang itu. Aku.
            Aku kini malaikat, aku bisa menjelma jadi siapa saja. Maka aku menjadi laki-laki tua, untuk menemui Jibril.
            “Kau berhasil membuat aku cemburu,”
            “Hai anak adam. Aku akan memberimu tiga permintaan yang sudah pasti Tuhan kabulkan, sebab sudah memberiku kesempatan sensasi menjadi manusia, terikat dengan emosi.” Sambut Jibril hangat.
            “Aku rasa ini nggak nyambung. Tapi baik, dua permintaan adalah dua apa saja yang bisa membikin Alisia tersenyum. Satunya lagi, aku meminta Kau tetap menjaga itu selama mungkin.” Kataku sambil terbang menghilang.

            Biasanya waktu di bawah kendaliku, sedetik bisa menjadi sepuluh menit. Tetapi saat menjadi manusia, akulah yang diperbudak waktu, seminggu menjadi manusia rasanya baru satu menit. Berkat Alisia.
            Aku akan bermunajat pada Tuhan, supaya jika Izrail datang, aku boleh memerintahkannya berhenti.
           
            [ Ibra; Manusia]
            Ini sudah seminggu lebih, jika matinya Alisia delay ini sudah terlalu lama, karena akan menggangu kematian orang lain. Sistem ketuhanan akan maha sempurna. Satu-satunya hal yang aku dapatkan; cinta itu harus dimiliki.
            Sekarang aku dan Jibril akan bertemu di taman, bukan masalah meski dipinggir jalan. Sebab aku angin, dan saat aku sudah manusia. Maka jibril akan kembali angin. Jadi takkan ada yang menaruh curiga.
            Akhir yang indah; aku bisa tahu rasanya menjadi malaikat sekaligus berhasil menyelamatkan Alisia. Tertambah ada dia, ditemani senyumnya melambai-lambai. “Ibra..Ibra...........” Aku sulit mendengar apa ucapan Alisia selebihnya, karena klakson keras dari dua mobil menutupi frekuensinya. Alisia menjerit. “Aaaaaa....”



            [ Malaikat Jibril]
            Aku sudah kembali malaikat, anak adam remaja dan aku sudah menjadi masing-masing, ada Alisia, ditemani senyumnya melambai-lambai. “Ibra..Ibra...........” di sana aku melihat Malaikat Izrail ditemani martil hitamnya
            Aku sudah kembali malaikat, tetapi mengapa emosi-emosi kemanusiaan masih melekat? Aku menangis lalu terbang menghadang Izrail.
“Jangan Izrail aku mohon!” Jagad raya dan isinya tak berarti apa-apa dibanding dengan yang aku cintai. Tapi Izrail berjalan melewatiku, baru kali ini ia mengacuhkanku.
Aku rela tiada, asal ia tetap ada.
Izrail melayangkan martilnya.


[ Ibra; Manusia ]
            Aku insan, malam itu dengan mata manusia ini aku pernah melihat Izrail akan membunuh Alisia.
            “Mohon, jangan Alisia, bunuh saja aku.”
            Kemudian malaikat berjubah hitam itu diam, seperti menajamkan pendengaran.
            “Baik, kau beruntung, besok atau dalam waktu dekat ia akan mati.” Dengan menunjuk Alisia, malaikat itu berlalu.
            Aku manusia, aku benci semua bentuk batas ini. Seandainya aku Jibril, aku pasti bisa memiliki kuasa untuk meminta Izrail menunda kematian Alisia, terus menundanya hingga ia lupa bahwa gadis cantik itu harus mati. Oh ya, aku mesti menjelma Jibril.
            Kukebut sepeda motorku menuju pantai. Tanpa peduli kemacetan kota, air mataku tetap melepaskan diri. Di pantai, aku berteriak. “Jibril.. ambil aku! ambil aku! Aku ingin bertemu.” Terus kuulang, cukup lama tak mendengar jawaban. Aku menuju kebun teh, teriakan di pantai kurewind, tak ada apa-apa, aku menuju puncak dari bukit. “Jibril. Ambil aku!” tetap tak ada, aku pulang.
            Di jalan mataku berkaca-kaca, hingga cahaya lampu dari kendaraan-kendaraan di depan hanya memantul bias. Aku tidak memikirkan nyawaku, aku sedang mengingat wajah Alisia, bagaimana jika senyum itu tiada?
Alisia, seraut wajah yang jika hanya tersenyum pun membuatku merasa ingin berhutang, ingin segera membayarnya dengan membahagiakannya. Alisia ia menyisihkan uang sakunya untuk membantuku membayar sekolah, memelukku saat aku hendak berkelahi dengan teman. Alisia, sosok yang sangat riang hanya karena bertemu denganku pertama kali di sekolah, tanpa peduli sudah setiap pagi kita bertemu, tanpa peduli saat itu wajahku sedang dilipat karena belum mengerjakan PR; pada akhirnya, aku pun ikut riang gembira. Bagaimana jika itu semua tiada?
Di jalanan yang agak sepi, aku berteriak “Aaaaaa.”
Aku harus ke rumah Alisia! Kutaris gas, motor dan air mataku mirip adu kecepatan.
Sesampainya aku langsung memeluknya. “Alisia aku sayang kamu!”
“Hey, kamu kenapa?” Kata Alisia lembut.
“Jangan tinggalin aku! Jangan pergi.” Kataku melas, air mataku semakin deras membombardir punggungnya.
“Aku janji selalu di sini.”
            Malam itu Alisia berhasil menenangkan aku, dilepaskannya pelukku, lalu dengan lembut menghapus semua air yang tertangkap di wajahku. Di rumah aku berdoa, memusatkan segalanya Pada Tuhan. Lalu aku menjadi debu, dan saat sadar sudah ada di tempat berlantai ruang angkasa, seperti langit apabila dilihat dari luar bumi; berwarna hitam berbintik-bintik bintang-bintang. Ini dimensi lain, ini nirwana istana Jibril.
            Sekarang Alisia tergeletak berpeluh darah. Mataku hujan deras, sebab apa saja yang aku lakukan ternyata tak berarti apa-apa. Aku berteriak. “Aaaaaaaaaa!”
            Selamat jalan Alisia, ingat aku seseorang yang selalu ingin menjagamu.

            [Malaikat Jibril]
Aku malaikat, tetapi aku tak bisa menghapus lauhul mahfudz. Setelah pemakaman Alisia, Ibra mencariku di bukit, berteriak “Jibril, Jibril!”
            “Ya, ada apa Ibra?”
            “Kenapa? Kenapa? Kau tidak menjaga Alisia? Kau tidak menghadang Izrail?”
            “Ibra, aku hanya malaikat, aku bukan Tuhan.” Kemudian aku terbang, hilang. Semoga Alisia bahagia di sisi-Nya.


Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


three columns

cars