Anekdot

Roman

Hati




            “Sekitar 10 menit lagi, tak ada yang menjamin anda bakal terus hidup.” Dokter yang mengoperasiku, wajahnya seperti memasang simpati untukku. Padahal Bella, aku berani mati. Lebih takut seumur hidup tak pernah mampu memperlihatkan hatiku kepadamu.
            “Apa permintaan terakhirmu?” Kata Perawat itu menyeringai, sebulir senyum seperti aku ini anak kecil.
            “Tak ada, aku hanya akan menulis suratnya.” Kataku berusaha sekuat tenaga tersisa, supaya ucapanku tidak terpatah-patah, berusaha meyakinkan mereka aku masih kuat berpikir.


            Dear Bella,

Di dalam kotak nasi styrofoam ini ada segumpal hati milikku, betul-betul hati manusia; berwarna merah dan tentu saja bersimpah darah. Terimalah, nikmatilah, rayakanlah.

            Tanpa peduli kamu butuh atau tidak, sesuatu tentangmu seharusnya menarik minatmu. Terlebih hatiku canggih, ia bisa bersuara seperti barbie disney untuk menyahutkan namamu, mendendangkan lagumu, dan membacakan dongeng ketika malam sebelum kamu memejam. Utility dan fleksibel, ia bisa bertanformasi ke penyejuk udara jika kaugerah, dan menjadi tungku api ketika kaudingin. Ia mengikuti perintahmu. Jika mau menyembuyikannya, otomatis kecil. Jika hujan tiba, bisa otomatis menjadi besar dan segera membentuk kamar beratap untukmu, tentu saja dengan pilihan lantai dan wallpaper pilihanmu.
Untuk beberapa alasan ia jelas sangat mirip denganku – nada bicaranya, kosa-kata yang digunakannya, dan tentu saja ia akan memperlakukanmu sama sepertiku; menganggapmu adalah peri jelita, lantas secara hati-hati tak membuat salah; takut dikutuk. Tetapi anehnya aku juga selalu melihat apa saja tentangmu darinya, sehingga kadang aku ragu – sebetulnya hatiku adalah hatiku, atau hatimu.
Bella yang manis, kau pasti punya pertanyaan – Bagaimana cara menjaganya? Memberinya makan?
Cukup dengan menjaga hatimu – hatiku pun sekaligus terjaga. Andai sedih melanda hatimu, juga tak ada semangat di dalamnya, kecuali kekacauan dan berantakan. Lekas usap dadamu, dan katakan semuanya akan kembali kondusif, rapikan hatimu, lalu bergembiralah dan bangunlah semangat. Jika harus aku menginformasikan ia makan apa, aku akan menjawab ia favorit mengunyah tawamu yang renyah. Berjanjilah membuat baik-baik selalu hatimu, dan menertawai hidupmu sendiri!
Bella yang selalu manis,
Aku dalam keadaan kritis, bahkan aku meminta bantuan suster untuk menuliskan surat ini. Semua anggota tubuhku nyaris tidak bisa digerakan, bukan karena aku sekarang telah melepas hati! Aku kira ini faktor psikologis, disebabkan aku tak lagi bersama hatiku, sesuatu yang aku selalu kujaga melebihi apa pun, yang langsung segera kuseka ketika tertusuk jarum ukuran paling kecil pun, dan yang aku pelihara dari dengki dan iri.
Secara fisik pun ini menyakitkan. Bella, satu-satunya yang aku yakini, ketika kamu membaca ini kamu sudah pasti tersenyum, tentu saja iya. Jika aku memiliki dua hati, aku akan melakukannya sekali lagi untukmu.
            Hatiku dirancang futuristik, tetapi tetap tak menjamin kamu tak akan jenuh. Kamu mencari hati lain lagi? aku tidak peduli, sekarang hatiku adalah milikmu, kuasamu. Meski nanti kamu mengembalikannya tak lagi utuh atau robek, aku sungguh tak peduli. Boleh saja kamu menggoresnya, mencabik-cabiknya. Namun, itu tak bisa menjamin hatiku akan berhenti. Ia tangguh.
Sebaiknya kamu pinjam koran milik Ayahmu hari ini, judul-judul beritanya pasti mirip-mirip; “Cowok Gila Memberikan Hatinya untuk Ceweknya.” Kamu juga mau bilang aku gila? Seandainya iya aku gila, penyebabnya kamu!
            Bella, aku benci seluruh bentuk keragu-raguanmu, dengan begini aku tidak punya kesempatan untuk membohongimu, kamu juga tidak lagi bisa menuduh aku berbohong. Sungguh masih banyak hal yang belum kamu ketahui. Kamu tak bisa menyimpulkan suatu kenyataan hanya karena kamu memikirkannya.
Percayalah hatimu. Hati selalu benar. Mungkin ungkapan konyol, izinkan aku bagaimana awalnya kudapat ungkapan itu. Saat itu ada kericuhan kecil antara aku dan hatiku.
            “Tapi nanti aku mati, jika kita berpisah.” Teriakku pada Hatiku.
            “Tidak, aku yang hati, aku yang paling tahu tentang diriku sendiri.” Hatiku tak kalah teriak.
            “Bagaimana mungkin aku hidup tanpa kamu!”
            “Tuan aku ini hatimu, jarak terdekat dari jiwamu. Bagaimana mungkin aku hidup di tubuhmu, jika Tuan terus menerus melawanku.”
            Aku tunduk, merasa bersalah.
            “Ingat tuan. Hati selalu benar!”
            Aku ingin protes, tapi rasa bersalahku terlalu kuat mengatup mulutku.
            Lalu hati tiba-tiba dia memelukku, “Percayalah, Tuan. Manusia akan tetap bahkan lebih hidup andai membiarkan hatinya berada di tempat yang hatinya itu inginkan. Atau aku, akan tetap berada di tubuhmu, Tuan, tetapi kau akan hidup tersiksa jika menghabiskan umurmu dengan terus melawanku. Ini demi kebaikanmu.”
            Aku kalah telak.
            Memang, aku seringkali bersikeras melawan hatiku. Kami bermusuhan untuk beberapa lama. Sama sekali tak nyaman berlawanan dengan hati sendiri. Merasa asing dengan tubuhku sendiri. Lantas kubuat solusi; menuliskan surat cinta untukmu. Dengan begitu aku dan hatiku akan beriringan melalui kata-kata yang kurangkai untukmu, dan hatiku akan merasa sejalan lagi denganku. Malamnya, hatiku tidur lebih dulu nampaknya, sebab tak ada lagi teriakan namamu yang biasanya menggema. Pikirku ia sudah lega, karena emosi-emosinya yang meledak-ledak itu bisa tercurahkan padamu. Aku masih tidak bisa tidur, Bella surat terlalu biasa, untuk gadis istimewa sepertimu. Juga, sudah terlalu banyak kata-kata yang kutulis untukmu, dan toh kamu masih tidak percaya, menganggap aku bercanda. Kuputuskan diam-diam aku menyembunyikan suratnya di bawah kasur. Pagi sebelum sarapan, hati mengingatkanku supaya segera mengirimkannya padamu, aku bilang sudah.
            Pekerjaan paling sulit di jagad sepertinya membohongi hati sendiri. Lama-kelamaan hatiku mengetahui apa yang sebenarnya. Kami kembali bermusuhan, aku akan melawannya lebih keras lagi.
            Aku berusaha tidak mendengar teriak-teriakan namamu yang masih jelas terdengar meski aku sudah menutup telinga dengan earphone juga bantal, pura-pura lelap ketika dengan paksa ia memasukan tokohmu dalam setiap alur cerita mimpi-mimpiku, dan berakting rabun saat bangun pagi, karena yang pertama ia hadirkan ialah bayanganmu lengkap dengan senyumanmu. Aku tak kuasa, kuambil keputusan untuk kami. Berpisah.
            Kami mendatangi rumah sakit terdekat yang memiliki fasilitas untuk merenggut hati dari tubuhku.
            “Gila kamu!” Jawab mereka setelah tahu maksud datangku, awalnya mereka terdengar mengejek dan tidak percaya. Kujelaskan baik-baik semuanya,  dari awal. Perlahan mereka menangis, aku tak tahu disebabkan apa.
            “Nanti kamu mati!” Kata seorang perawat dengan isaknya.
            “Saya lebih tersiksa hidup melawan hati saya sendiri.” Kataku mantap, mereka tak akan tahu aku meniru ucapan milik hatiku.
Saat bangun, aku sudah manusia tanpa hati.
            “Ini hatimu, kami harus melakukan apa lagi?” Tanya Suster yang mengisak tadi, rupanya ia punya minat untuk terus di sampingku, membantuku.
            Mataku mencari sesuatu yang bisa menjadi wadah, kutemukan kotak nasi makan siangku. “Masukan ke kotak itu, dan kirimkan pada Bella.” Lalu kutulis surat ini untukmu.

***

            Bella, gedung ini akhirnya kacau, beberapa menit lalu kepolisian detasement khusus mengepung – menjebloskan Dokter dan Perawat yang membiarkan dan membantuku. Aku telah dipindah ke ruang VIP yang sebetulnya luas, namun di sini penuh sesak wartawan, beberapa dokter ahli dari dinas pemerintahan mendampingiku, salah satunya membisikku. “Bersiaplah, mau ada live!”
            “Live?” Kagetku.
            Para crew berbaju dengan label telivisi swasta naional, menyiapkan semuanya, kamera besar berikut lighting dipampang di hadapanku.
“Apa motivasi anda mengeluarkan hati dari tubuh sendiri?” Reporternya nampak ramah, ia menjulurkan microphonenya.
            “Saya di sini, untuk laki-laki yang tidak dipercayai wanitanya. Dunia kadang tidak adil kepada kami, diangaap penipu, pembohong, pemberi harapan palsu dan sebagainya. Maka periksalah sendiri hati kami!” aku mengucapkannya dengan emosi yang meletup-letup, meski bahasaku tersandung-sandung tubuhku yang masih sakit.
            “Saya di sini, untuk mereka yang bungkam dan berperang melawan hatinya sendiri, anda tidak perlu khawatir lagi, sebab sekarang sudah ada jalan tengah. Lepaskan hati anda! Anda tidak hidup jika anda terus menerus melawan hati anda sendiri.”
            “Cut!” kata seseorang, mungkin Pak Producer. Ucapannya satu katanya itu, bisa diterjemahkan marah sekaligus takut.
            Lensa kamera ditutup Crew seakan digesa-gesa, salah satu pegawai dinas menyekap mulutku, kemudian salah satu dokter mengambil alih mulutku dengan sapu tangan yang bau. Dimensi berubah.
            Gelap.
            Gelap.
            Saat aku sadar, ternyata ini penjara. Aku satu ruangan dengan para perawat dan dokter yang mengoperasiku. “Maafkan aku,” Simbahku.
            “Sudahlah sudah. Ini sudah terjadi.” Jawab si Dokter.

            Sekitar satu jam di dalam sel, aku disuruh keluar oleh penjaga, berikut teman-temanku. Aku pikir kami mendapat hukuman mati, karena telah menginspirasi orang lain untuk membahayakan hidupnya sendiri, sepertiku. Aku manusia, tidak suci seperti hati, akhirnya aku mengeluh andai kemarin tidak kuturuti hatiku, ia waktu itu terlihat begitu mirip denganmu, Sehingga kutekad apa saja pintanya, tanpa peduli resiko selanjutnya. Mata penjaga itu tidak seperti algojo, malah matanya sembab.
            Di ruang tunggu, ada televisi yang cukup besar. Menampilkan sebuah acara berita, dengan seorang pembaca berita dan seorang narasumber, pakaian serba putihya cukup jelas menginformasikan bahwa ia seorang dokter.
            “Penelitian menunjukan, cowok yang kita sebut gila itu benar. Hati yang dilepaskan oleh manusia tidak akan apa-apa bagi keduanya. Justru akan membuat merasa semakin hidup.
            “Malah di sini, saya menemukan kecenderungan jika manusia terus melawan hatinya sendiri, akan timbul depresi berat dan mengurangi umur mereka.”
            Bukan aku yang benar, hatiku! Ia selalu benar.
            Televisi berganti gambar, layar dibagi empat dengan tertera Jakarata, Bandung, Surabaya, Medan di bagian kecilnya, sama-sama menampilkan Rumah Sakit. Mataku mengedarkan arah, mencari tulisan penasaran ini memberitakan tentang apa. Dapat; ‘Ribuan Pemuda Operasi Congkel Hati untuk Kekasihnya’, ‘Mahasiswi Menuntut Hati Pacarnya.’
            Mungkin sudah waktunya, para lelaki mencintai perempuannya harus benar-benar memberikan hatinya. Seutuhnya, sepenuhnya.
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


three columns

cars