Anekdot

Roman

Waiting for You in Manhattan




     Aku dikerumuni bule, tatapan mereka terlihat panik, aku merasa disayangi.

     “Are you OK, Ted?” Tanya Carter.

     “Yeah, im fine. Thanks” Itu bukan kebohongan, aku kuat.

     Lalu aku berdiri, seolah bel pulang sekolah, mereka membubarkan diri. Carter sempat menggelengkan kepala. Di matanya dan semua orang di sini, aku hanya orang gila yang suka tiduran di taman. “Care you self” kata bule rambut pirang itu, dengan menepuk-nepuk pundakku. “OK” kuangkat kedua tanganku. Carter adalah tempatku curhat kalau ke tempat ini, itu pun jika aku lagi bosan menyendiri. Sempat kuceritakan padanya kalau Zahara akan datang.

     Aku menyipit sinis pada langit malam, Ini gara-gara terlalu rindu kamu sayang. Selepas kerja aku selalu menyempatkan diri ke tempat ini, baru kali ini aku jatuh, bahkan dari tangga yang jumlahnya hanya ada lima.

     Aku ini perindu, sebuah panah yang nggak punya busur. Kalau malam ditemani bintang, saat itu aku pasti sedang sedih, karena ia favorit bintang. Tanpa venus, ia akan kebosanan. Jika malam dihiasi bintang, aku juga menangis. Seandainya dekat, dia pasti memeluk lenganku, sambil menyunggingkan senyum dia akan melirik bintang itu, kemudian aku dorong kursi rodanya hingga puas. Dia, Zahara gadis  yang mampu menutup kekurangan dengan kelebihannya. Bisu dan lumpuh kurangnya, kuat dan nggak mau dikasihani lebihnya. Ia bisu dari lahir, dan lumpuh gara-gara aku yang nggak mendengar peringatannya “Aaaaaaaaaaf aaaaf  oobi eoo aaaaf” aku pikir itu bukan peringatan ada mobil mendekat, karena aku nggak bisa menterjemahkan, Zahara akhirnya berlari dan mendorongku, ia yang tertabrak. Sejak kejadian itu kami mendekat.

     “Maafin gue, gue mau ngapain aja asal dimaafin” aku tunduk, menyerahkan diri.

     Dia membalasnya dengan menulis di kertas yang memang selalu ia bawa. Bego, gue bukan guru fisika lo. Biarin umi gue yang hukum lo, dia galak loh. Umi yang sedari tadi berurai air mata, jadi senyum. Aku senyum pada diriku sendiri, jantungku bergetar, mataku membendung air. Semua orang yang melihat gadis itu pasti akan simpati, lalu sedih. tapi dia slalu mengubah semua sudut pandang dan suasana, hidup bukan untuk menangis.

     “Nggak, bagi umi Zahara selamat aja sudah cukup. Apalagi kamu yang mau menemani kami. Zahara yang galak, atlet karate. Kalo kakinya masih berfungsi, pasti kamu dia tendang haha haha” kilah Umi, kami pun menikmati suasana rumah sakit dengan tertawa.

     Umi mengusap-usap rambut Zahara, ia balik mengusap lengan Uminya. Mereka menukar senyum. Mataku malah semakin berat, kupandangi mereka berdua. Umi yang berpostur rendah, manis dengan jilbabnya. Zahara cantik yang cacat, tapi punya kekuatan supernatural. Beruntungnya aku menemukan kalian.

    Besoknya, setiap pulang sekolah aku slalu menjenguknya. Satu hari aku menemukan Zahara dengan kursi rodanya menghadap jendela. Dia tertangkap basah dengan air matanya. Semoga bukan karena ia nggak bisa main karate lagi, perutku mual merasa sangat bersalah. Kucari tema pembicaraan, “Za, teriakan lo kemaren gua belum ngerti sampai sekarang loh. Bisa kasih tau apa artinya?” 

     Dia menulis “awas awass ada mobil bego” ia senyum dengan bibir rapat, senyum yang sok manis. lucu sekali.

     “Eh, tapi gue ngerasa jadi orang bego paling beruntung. Beruntungnya bisa ketemu lo” Itu kejujuran.

    “Garuk gue, geli kale” 

     Aku utarakan semua kagumku tentang dia dan hidupnya. Katanya, hidup sudah terlalu melankolis, apalagi saat ayahnya meninggal. “Umi akan mengutuk hidupnya sendiri, kalau gue jadi cacat. Jadi gue nyoba ngasih tau Umi, kalo gue nggak cacat. Ini sugesti, ini buat Umi” kali ini mata Zahara terlihat serius. Sebelum ada pertumpahan air mata, aku harus bilang sekarang. “Gue sayang lo, pacaran mau? Gue akan jadi kaki serta mulut lo yang baik” aku menatap lantai, datar. 



     Dia mulai menulis, mataku masih pada lantai. “Jawab aja yang jujur, za” lirihku.

     Dia menyerahkan kertasnya, aku buka perlahan. “ENGGAK!”  aku mengintip matanya, masih sama seriusnya seperti tadi. Katanya mata nggak bisa bohong.

    Zahara menulis lagi, kini aku yang bisu. “Tapi lo masih mau kan temenin gue? Oh iya gue sukanya mawar putih bego, tapi makasih yah mawar, tentu gue jaga”

    “Sama-sama. Temenin? Oh iya dong”jawabku menelan ludah, ah mawar yang indah memang slalu sulit dipetik.

    Besoknya, aku masih sering kerumah sakit. Sekolah bebas, aku menimba ilmu dari kehidupan Zahara saja.

***

     Akulah perindu, seorang yang membaringkan tubuhnya di Central park menghadap manhattan bridge. Aku nggak terganggu dengan lalu lalang orang, malah ingin kutanyakan kenapa aku nggak menemukan obat rindu di New York yang katanya komplit dan megapolitan ini? Kutatap bintang kenapa? Ah, kirimkan sejuta sayangku saja untuknya. Kau yang menggantung di atas sana, andai lulus SMA dulu aku pilih UI daripada Hardvard yah? Bahkan karena lingkaran ini. Aku sudah terikat kontrak dengan salahsatu perusahaan di sini. Bintang berkedip, kedipan yang sama dari empat tahun lalu. memaksaku kembali ke momen itu. Dimensi berubah, mataku berat.

***
           LULUS

      “Za, gue harus pergi. Sekarang” aku berlutut di hadapannya. wajahku sok manis, menganggukan kepala.


      “Ttttteeddinno”  ia melompat dari kursi rodanya untuk memelukku.

     “Zahara, kamu bisa ngomong?”

     “Ggu-e sssa-yang lo. Ted” ia menembakan sinar matanya pada mataku.

      “Gue juga sayang lo, di Jakarta atau pun di New York, sekarang atau pun udah pindah nanti, atau kapan pun” sekarang kami berlumuran air mata.

      Zahara terlihat mau melepaskan diri, tangannya menunjuk kursi rodanya. Kemudian ia menulis: “Tadi lo bilang yang ngomong siapa? Ha? Gue bego! emang siapa lagi? Gue sayang lo, dan akan nungguin selama apa pun. Lo nggak bego-bego banget lah” dia mengakhirinya dengan senyuman, terlihat nggak betah dengan air mata.

            ***

            Sudah larut, aku bangkit jalan-jalan lagi. Oh ternyata ada whatsapp dari Zahara;

Tedino
Cinta kita bak bumi dan matahari yah?
Meskipun, jutaan kilometer mencoba menghalangi, kamu tetap bisa bersinar buat aku.
Slalu bersinar yah, sayang. Bersinarlah kapan pun.
See you at USA. Yeay.

     Pesan itu dikirim dari sejam yang lalu. Di mana Zahara sekarang? Langkahku perlahan, tapi karena keasikan dengan smartphone, aku malah jatuh lagi. Bedanya kali ini keningku terasa sakit sekali. Segera kudelegasikan tanganku untuk memeriksanya, aku gemetaran melihat darah segar ada di telapak tanganku. Untung, tempat ini sudah sepi. Kalau masih ada pasti aku mereka kepung lagi, aku nggak mau ditangkap FBI dengan tuduhan pengganggu ketertiban sosial. Aku berjalan menghindar dari orang-orang yang masih tersisa, menuju halte terdekat dan duduk di sana.

     Oh ya, sudah nyampe mana zahara sekarang? kubuka tabletku, memeriksa letak Zahara dari GPS-nya. Oh Singapura. Masih lama. Aku bisa ke klinik dulu untuk mengobati luka ini, jangan sampai dihadapannya tampil jelek. Iya, hanya tinggal ini. Semuanya sudah siap. Sudah aku buat taman kecil di belakang rumah, di belakangnya ditumbuhi mawar putih, aku akan mengajaknya masuk rumah tapi dengan menutup matanya, dengan begitu setelah puas dengan mawarnya di belakang, dia nggak akan tahu kalau di ruang tengah sudah ada balon dan bintang-bintang dari kertas. Sempurna, kan? Umi, umi sudah kubelikan jilbab dan gamis dari desaigner partner kerjaku di Turki.

     Aku cek uangku, kiranya ini masih cukup untuk membayar dokter Amerika. Semoga dengan teknologi negeri ini, bisa mengembalikan lidahnya, dan membuatnya berjalan kembali. Amin.

     Iphoneku berbunyi. Carter Calling, kuangkat, belumsempat bicara Carter menyabet duluan. “Ted. Kau harus lihat berita tengah malam, kalau enggak bisa streaming saja TV Indonesia. Ayo, saat ini aku belum boleh banyak bicara. Sudah ya” kurang lebih itu ucapan Carter.  Dia nggak pernah menelpon seserius itu, tablet terasa berat sekali diangkat, aku mengerakkan jari untuk mengetik TV online, rekor baru mengetik tiga kalimat terlama dalam hidupku.

       Kulihat presenter itu sedang mengatakan ada kecelakaan pesawat di Changi. Aku masih penasaran,Pesawat maskapai Indonesia, Jakarta-New York, Jakarta-New York? AKu seperti merasakan gempa tektonik, Aku terhuyung-huyung, tapi masih sempat kulihat daftar korban tewas. Zahara dan Umi masing-masing ada diurutan korban WNI nomor empat dan lima. Gempa membuat Manhattan kiamat, aku ambruk. Bayangan wajah Zahara dan Umi yang biasanya cantik, kini hitam.
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

1 komentar :


three columns

cars