Anekdot

Roman

Mata yang Menyimpan Dunia

Elena memejam di pahaku, seketika lubang kecil lahir di dada. Apa aku pernah bilang? Bahwa di matamu tersimpan sebuah dunia sempurna, satu-satunya tempat akulah raja.
Aku masih memandangi Elena, tidurnya sangatlah nyenyak. Elena memeluk buku yang baru saja kami beli, buku lain berserakan, satu cupcake, dua botol softdrink dan beberapa potong pizza yang menyisa masih nampak di meja. Beberapa menit lalu aku berteriak padamu, saat kau tak sengaja menyenggol minuman yang mengenai novel terbaru dari penulis favoritku. Sebelumnya juga, aku mengomelimu, sebab kau tak menghabiskan pizza –yang padahal kau sendiri merengek-rengek dengan mencengkeram lenganku; memintanya-. Walaupun saat itu juga kau mau langsung menyekanya, lalu memancingku dengan menaruh tissue-tissue di atas buku serupa selimut, kau bilang; “Tenang, dia nggak akan kedinginan.” Tapi aku tak acuh, malah cemberut. Kau masih belum berhenti berjuang dengan mencolek daguku. “Jadi, kau marah?” Katanya, dengan nada lembut dan tentu saja senyum. Aku masih diam, dan perlahan menghilangkan seringai pelangi terbalik di bibirnya. Kemudian kau bergeser ke ujung sofa, menjauh.. Beberapa saat hening. Aku benar-benar kesal terhadapmu, meskipun mulai tersentuh, mulai mencerna kata-katamu. Tiga menit kemudian kau mengambil nafas panjang, dan kembali mendekat. Sebuah tangan mungil merayap jemariku, hangat tubuhnya menjalar meskipun saat itu aku tidak kedinginan. “Maafkan aku, ya.” Katamu, terdengar tulus.  Aku diam lagi, perlahan kau mulai berbaring di pahaku dan bernyanyi-nyanyi kecil sambil membaca, hingga lagu tak terdengar dan kau ketiduran.
Beberapa hari ini, kau teramat sering mengeluh: tentang teman-teman, keluarga, sampai kesehatanmu. Aku mengolokimu dan mulai memberi julukan anak manja.
Rintik gerimis terdengar, menjadi backsong menyulut seluruh emosi. Aku berdiri, mengambil lalu memasangkan bantal juga selimut untukmu. Aku ingat dahulu kau hanya kelebat. Kakiku melangkah ke arah jendela, dan sedikit-sedikit membukanya, berusaha keras tidak menimbulkan suara. Aku ingat, dahulu kau adalah bintang di langit, aku di sini terlalu rendah untuk mencapaimu. Air mataku menetes.
Aku berpaling pada buku, memang, benar, aku ini seorang yang gemar membaca, tetapi masih belum mampu membaca hatimu dengan baik. Buku itu, tidak, bukan, tak ada satu pun sesuatu yang aku miliki dan yang aku jaga melebihi dirimu. Pizza? Tidak, tidak ada yang lebih berharga daripada kau ada di sini, dan akan kuserahkan seluruh uang yang kumiliki untuk ditukar dengan apa saja yang membuatmu tetap di sini. Air di mataku kembali menetes.
Aku kemudian berlutut dihadapanmu, tergurat lelah dalam nyenyakmu. Dengar, tak ada salahnya dengan mengeluh, apalagi kau –seseorang yang semestinya aku ikut merasakan. Aku juga dahulu sering mengeluh; tentang dunia yang terkadang tidak adil, itu saat hatimu belum ada di sini, dan sekarang kau –bintang di langit- benar-benar di sini. Aku hanya seorang yang teramat sering melupakan kerja keras sendiri, dan bukan hamba yang pandai bersyukur, sehingga sesuatu yang kumiliki juga teramat sering pergi. Aku tidak mau seperti itu lagi.
Kesehatan? Tak perlu khawatir. Semampunya akan aku jaga mata yang kau punya tetap nyala, sebab di sana tersimpan sebuah dunia, untukku.

Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


three columns

cars